Mayoritas ahli agama berpendapat dan berkeyakinan bahwa setiap Rasul Allah membawa agama atau sistem hukum yang baru dan berbeda sebagai pengganti dan penyempurna, dari agama atau sistem hukum yang dibawa Rasul Allah sebelumnya. Menurut mereka, apa yang Allah wahyukan kepada Nabi Abraham (Ibrahim) berbeda dengan apa yang diwahyukan-Nya kepada Nabi Musa. Begitupula yang diwahyukan-Nya kepada Nabi Musa berbeda dengan apa yang diwahyukan-Nya kepada Nabi Isa Al-Masih, dan begitupula yang diajarkan (diwahyukan) -Nya kepada Nabi Muhammad adalah ajaran yang berbeda dan lebih sempurna dari ajaran pa Rasul sebelumnya. Kalaupun di antara ajaran para Nabi dan Rasul Allah memiliki hubungan dan kesamaan, itu hanyalah sebatas teologis, mereka sama-sama beriman kepada Allah, Tuan Semesta Alam.
Doktrin agama tersebut tentu saja patut dipertanyakan karena tidak memiliki dasar kewahyuan yang kuat. Bukankah semua Rasul Allah diutus dan mendapat tugas yang sama dari-Nya untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya yang sejati, yakni menjadi hamba dari Allah Sang Pencipta sebagai satu-satunya Tuan baginya ? Allah mencipta dengan maksud tertentu, yakni untuk menjalankan fungsinya sesuai kehendak dari perintah Sang Pencipta dirinya. Setiap Rasul diutus untuk membawa petunjuk dan sistem hukum yang benar (din al-haqq) di tengah-tengah kehidupan ummat manusia yang zalim dan syirik akibat mengikuti sistem hidup yang bathil, yakni sistem hukum bangsa-bangsa yang musyrik, sehingga manusia kembali kepada cara hidup yang benar (fitrah) dan bisa menjalankan fungsinya denganbenar. Untuk itulah Allah menciptakan sistem atau tata cara hidup dan kehidupan yang benar bagi makhluk ciptaan-Nya, khususnya bagi manusia.
Tugas para Rasul Allah itu tertuang dengan jelas dalam Al-Qur’an surat Ash-Shaff [61] ayat 9 berikut ini :
Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan din yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala din meskipun orang-orang msyrik membenci.
Sesungguhnya, semua ajaran dan risalah yang dibawa dan diperjuangkan oleh para Nabi dan Rasul Allah dari zaman ke zaman merupakan ajaran yang sama, tidak pernah berganti apalagi berevolusi (dari yang tidak sempurna menuju yang sempurna). Kesamaan ajaran tersebut tidak hanya dalam masalah keimanan kepada Allah, Tuan Semesta Alam, Tuan Yang Maha Esa, tetapi juga dalam masalah hukum atau syariat dan ibadah.
Kebenaran sejati berasal dari Allah Yang Maha Benar, dan ciri dari suatu kebenaran sejati adalah manakala dia tidak pernah berubah dan berganti hanya karena perubahan waktu dan tempat. Itulah wujud dari sistem kehidupan yang benar (din Al-qayyim), yakni Millah Abraham yang hanif (lurus;murni) yang diemban dan diperjuangkan oleh semua Nabi dan Rasul Allah sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi Muhammad dan generasi Millah Abraham selanjutnya. Para Nabi dan Rasul Allah serta orang-orang shiddiq, orang-orang syahid, dan orang-orang shalih adalah orang-orang yang telah mendapat ni’mat oleh Allah, Tuan Semesta Alam, bukan jalan orang-orang yang mendapat murka Allah atau jalan yang sesat.
Jalan kebenaran yang mereka lalui dapat ditelusuri dari sejarah para Nabi dan Rasul Allah sebagaimana dikisahkan dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Cara hidup mereka pada dasarnya berpangkal pada sosoksentral Nabi Abraham, Bapak Para Nabi, yang mengajarkan Millah Abraham, sistem kehidupan yang benar.
Millah Abraham tentu saja bukanlah suatu ajaran yang baru, karena telah menjadi ajaran atau jalan hidup para Nabi dan Rasul Allah, termasuk Nabi Muhammad. Untuk itu, kehadiran generasi Millah Abraham di Nusantara bukanlah untuk membawa ajaran atau agama baru, tetapi mewarisi dan meneruskan misi risalah Tuan Semesta Alam dan ingin mengembalikan manusia agar beriman kepada Din Allahyang sejati, yakni Millah Abraham yang hanif;Islam Hanif. Begitu pula tidak ada niatan Millah Abraham untuk menodai salah satu agama dari agama-agama yang diakui dan dianut mayoritas manusia.
Teminologi Millah
Dari sudut bahasa, secara etimologi, kata millah berasal dari Bahasa Aram. Aram adalah salah satu suku yang ada di jazirah Arabia. Kata millah disebut dalam lima belas ayat dalam Al-Qur’an, sembilan kali dalam ayat-ayat Makkiah dan enam kali pada ayat-ayat Madaniah, dan dalam berbagai konteks bahasan, yang umumnya berhubungan dengan para nabi, khususnya Nabi Abraham.
Kata millah -seperti halnya kata din- adalah sebutan bagi sesuatu yang telah disyariatkan oleh Allah kepada ummat manusia melalui para Nabi dan Rasul-Nya agar manusia dapat berhubungan dengan-Nya. Dalam istilah bahasa Turki, millet, istilah yang digunakan oleh Turki Utsmani untuk seluruh agama yang berkembang di wilayahnya. Bahkan dalam bahasa Turki dan Persia, kata millet sering dipakai dalam pengertian bangsa, rakyat, atau negara.
Dalam pemakaiannya, kata millah dalam Al-Qur’an umumnya disandarkan pada nabi yang membawanya, seperti millah Abraham, millah para Nabi (Syuaib, Ismail dan keturunan Ishak), dan millah Muhammad. Kata millah digunakan pada ayat-ayat Makkiyah sebanyak sembilan kali, tiga di antaranya di-idhafah-kan (disandarkan) kepada Abraham (Ibrahim) secara langsung dan enam sisanya di-idhafah-kan kepada dhamir (kata ganti).
Berkaitan dengan kata millah yang disandarkan langsung kepada Abraham, setidaknya ada empat alasan utama mengapa beliau memiliki tempat yang spesial nan mulia disisi Allah, yakni :
Pertama, Abraham dianugerahi keistimewaan sebagai kekasih Allah, terpilih sebagai nabi dan imam, dan banyak kemudian dari keturunannya yang juga menjadi orang-orang pilihan Allah (Nabi dan Rasul), baik dari garis keturunan Ishak maupun Ismail.
Kedua, Abraham adalah salah seorang Nabi yang menerima gelar ulū al-‘azmi.
Ketiga, Abraham adalah akar tunggang dari pokok pohon Anggur Allah, karenanya semua agama samawi tidak bisa dipisahkan dari Millah Abraham, Nabi Moses (Musa), Yesus (Isa), dan Muhammad generasi pelanjut dari misi risalah Millah Abraham yang merupakan Din Allah, Tuan Semesta Alam, sebagai satu-satunya Jalan Kebenaran Tuan Semesta Alam; sistem hidup yang benar, fitrahya manusia.
Terminologi Din
Al-Qur’an emenyebut kata din dalam berbagai bentuk sebanyak 95 kali dalam 40 surat;49 kali diulang dalam 25 surat-surat Makkiyah dan 46 kali diulang dalam 15 surat-surat Madaniyah. Sebanyak 65 kali disebut dalam bentuk kata benda verbal dan 26 kali dalam bentuk kata kepunyaan (misalnya, din-ku dan din-mu), dan hanya tiga kali disebut dalam bentuk kata kerja.
Sedangkan secara etimologi, din adalah peraturan Ilahi yang mengantarkan orang-orang yang berakal sehat, atas kehendak mereka sendiri menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam bahasa Semit, din berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab, kata din secara bahasa berasal dari kata dana-yadinu-dinan; bila ia menyertai, menyerah kepada dan menaati (seseorang), balasan dan pahala, taat, ketundukan, kekuasaan, dan paksaan, Tafsir lain menyatakan bahwa kata al-din seacra bahasa bermakna balasan (al-jaza’), dan juga berarti syariat, yakni seperangkat beban yang menjadi tanggung jawab hamba kepada Allah.
Disamping berarti taat,patuh, pembalasan, dan perhitungan, kata din juga berarti millah dan syariat. Penafsiran yang senada juga telah dilakukan oleh para penafsir era klasik. Makna kata din juga bisa disepadankan dengan perhitungan, pahala, ‘urf (kebiasaan) dan adat.
Penafsiran yang lain mengatakan bahwa kata din itu memiliki tiga arti ; pertama, kehormatan pemerintah, negara dan kekuasaan; kedua, ketundukan, kepatuhan, penghambaan, dan penyerahan, dan arti ketiga, memperhitungkan, mengadili, memberi hukuman atas perbuatan-perbuatan seseorang, dan jika dikatakan qaum din, berarti kaum yang berserah diri dan taat.
Untuk melengkapi makna kata din di atas, ada baiknya kita lihat uraian yang menjelaskan bahwa kata din sesuai bentuk dan fungsinya mencakup tiga makna dasar, yaitu :
Dana-dinan; berasal dari kata kerja transitif. Kata ini bebarti memiliki, menetapkan, menyiasati, mengatur, memaksa, menghitung, menetapkan perkara, memebri balasan, dan ganjaran. Dalam makna ini, din lebih berkonotasi pada arti menguasai dan mengendalikan, yaitu hak dan wewenang para raja selaku penguasa politik, termasuk kuasa untuk menghukum, memaksa, dan memberi ganjaran.
Dana Lahu; kata kerja intransitif yang dirangkai dengan huruf lam. Disini, kata din berarti merendahkan diri, taat, ibadah, dan wara’ (rendah hati). Oleh karena itu, kata al-din li Allah mengacu pada makna diatas, yakni bahwa hukum itu milik Allah atau sikap tunduk patuh dan merendahkan diri kepada-Nya. Makna kedua ini tidak berbeda dengan makna yang pertama.
Dana bi al-Syay’; kata kerja transitif yang dirangkai dengan huruf ba’, yang berarti mengambil dan menjadikannya sebagai din dan mazhab, yakni cara yang digunakan sebagai teori dan praktik.
Term lain yang sering digunakan Al-Qur’an untuk memaknai kata millah adalah kata din, satu istilah yang seringkali digandengkan dengan kata Islam sebagai nama dari din itu sendiri. Kesamaan dan kaitan makna antara din dan millah ini dapat dilihat dari beberapa ayat Al-Qur’an sebagai berikut :
Al-Qur’an surat Al-An’am [6] ayat 161 :
قُلْ إِنَّنِى هَدَىٰنِى رَبِّىٓ إِلَىٰ صِرَٰطٍۢ مُّسْتَقِيمٍۢ دِينًۭا قِيَمًۭا مِّلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًۭا ۚ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ [٦:١٦١]
Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik".
Pada ayat ini dijelaskan dengan tegas, bahwa yang dimaksud oleh Allah dengan isrilah shirathal mustaqim (jalan yang lurus; Jalan Kebenaran) itu adalah din al-qayyim; sistem hidup yang benar, yaitu Millah Ibrahim. Sekaligus menegaskan bahwa makna kata din adalah sama dengan millah. Millah Abraham inilah yang kemudian diajarkan pula oleh Allah kepada Nabi Muhammad.
Al-Qur’an surat An-Nisa [4] ayat 125 :
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًۭا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌۭ وَٱتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًۭا ۗ وَٱتَّخَذَ ٱللَّهُ إِبْرَٰهِيمَ خَلِيلًۭا [٤:١٢٥]
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.
Al Qur’an surat Al-Hajj [22] ayat 78 :
وَجَـٰهِدُوا۟ فِى ٱللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِۦ ۚ هُوَ ٱجْتَبَىٰكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى ٱلدِّينِ مِنْ حَرَجٍۢ ۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَٰهِيمَ ۚ هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ وَفِى هَـٰذَا لِيَكُونَ ٱلرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ ۚ فَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱعْتَصِمُوا۟ بِٱللَّهِ هُوَ مَوْلَىٰكُمْ ۖ فَنِعْمَ ٱلْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ ٱلنَّصِيرُ [٢٢:٧٨]
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.
Pernyataan Nabi Yusuf yang mengikuti Millah Ibrahim sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Yusuf [12] ayat 38 :
وَٱتَّبَعْتُ مِلَّةَ ءَابَآءِىٓ إِبْرَٰهِيمَ وَإِسْحَـٰقَ وَيَعْقُوبَ ۚ مَا كَانَ لَنَآ أَن نُّشْرِكَ بِٱللَّهِ مِن شَىْءٍۢ ۚ ذَٰلِكَ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ عَلَيْنَا وَعَلَى ٱلنَّاسِ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ [١٢:٣٨]
Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya'qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. Yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukuri (Nya).
Beberapa ayat di atas dengan tegas mengaitkan dan menyamakan antara makna kata din dan millah, bahkan mempertegas pula kedudukan Millah Abraham sebagai millah generasi spritual Abraham selanjutnya, termasuk Nabi Yusuf, Nabi Muhammad, dan para pengikutnya. Dengan kata lain, semua Rasul Allah itu membawa ajaran yang sama, yaitu apa yang disebut oleh Al-Qur’an dengan Millah Ibrahim atau Millah Abraham . Semua nabi keturunan Abraham (khususnya Rasulullah Musa, Isa Al-Masih, dan Rasulullah Muhammad) mengikuti dan membawa paham keagamaan yang sama, yakni Millah Abraham. Berbeda dengan paham mayoritas agamis yang berasumsi bahwa masing-masing Nabi dan Rasul Allah membawa ajaran atau agama yang berbeda satu dengan lainnya.
Adapun dalam penggunaannya, kata millah tidak disandarkan kepada Allah (millah Allah),tetapi lebih sering dinisbatkan kepada Abraham. Hal ini karena Abraham adalah nabi yang disepakati keutamaan dan kebenaran din-nya, baik oleh musyrik Mekkah maupun Ahli Kitab. Bahkan, orang-orang Quraisy dan etnis Arab lainnya menyebut diri mereka sebagai pengikut Millah Abraham.
Berbeda dengan kata millah, kata din sering disandarkan pada Allah (Din Allah). Kata din disandarkan menjadi Din Allah karena melihat Dia sebagai pemilik dan sumber dari Din tersebut. Karena itu, Allah disebut juga al-Dayyan (sumber dan Yang memerintahkan hukum). Bila kata din disandarkan kepada penganutnya, seperti kata diniy (dinku) atau dinukum (din kalian), maka hal itu disandarkan pada ketaatan dan ketundukan dari si penganut.
Dari kata din juga dibentuk kata madianh yang berarti tempat ketaatan; tempat hukum Allah diberlakukan. Kota Yatsrib disebut Madiah karena di sanalah tempat ditegakkannya ketaatan kepada hukum Allah melalui sarana kekuasaan politik di bawah pimpinan Nabi Muhammad sebagai Khalifatullah (pewaris dan pemegang mandat kekuasaan Allah) di muka bumi. Sehingga, yatsrib menjadi pusat mercesuar dunia (Madinah Al-Munawwarah; Kota Terang Allah) yang pada akhirnya menjadi bangsa sebagaimana Yerusalem menjadi Kota Terang Allah pada zaman Nabi Musa dan Nabi Isa.
Terminologi Syariat
Selain kata din, kata yang juga berkaitan dengan kata millah adalah kata syariat (hukum).Kata syariat berasal dari kata dasar syara’a yang berarti datang ;sumber air yang mengalir;jalan menuju mata air untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan.
Kata al-syariat, al-syar’u atau al-syir’ah berarti sesuatu yang dipilih dan dijelaskan Tuan Semesta Alam yang berasal dari din untuk hamba- Nya. Kata-kata tersebut digunakan dalam makna metode Ilahiah atau hukum-hukum Allah. Kata syariat telah digunakan dalam bahasa Arab sebelum turunnya Al-Quran. Bahkan, kata yang semakna dengannya sudah ada di dalam Taurat dan Injil.
Kata syariat dalam arti luas adalah keseluruhan ketentuan din yang mengatur tingkah laku, ucapan, dan kepercayaan manusia. Dengan kata lain, syariat adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Allah yang dijelaskan oleh para rasul-Nya tentang tata aturan hidupdan kehidupan manusia dalam mencapai kebahagian hidup di duniadan akhirat. Namun, dalam perkembangannya, kata syariat terkadang digunakan untuk merujuk kepada aspek hukum dan agama Islam dan terkadang juga dipakai untuk menyebut aspek hukum dan agama Islam sekaligus.
Secara ternis, syariat merupakan seperangkat hulum llahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan sesama manusia dalam kehidupan sosial, dan manusia dengan benda dan alam sekitarnya. Hukum Ilahi yang mengatur tata hubungan itu berupa kaidah ibadah dalam arti khusu (ibadah murni), yang megatur tata cara dan ritual pengabdian manusia kepada Allah, dan kaidah muamalah yang mengatur relasi manusia dengan manusia lainnya atau dengan benda dalam kehidupan sosial. Dari sini kemudian berkembang dalam kajian fikih yang disederhanakan menjadi dua bagian, fikih ibadah dan fikih muamalah.
Hubungan makna dari kata din (millah) dengan syariat (hukum) Allah dapat dilihat dari beberapa ayat Al-Qur’an, diantaranya pada surat Al-Midah [5] ayat 48 :
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ بِٱلْحَقِّ مُصَدِّقًۭا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ ٱلْكِتَـٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَٱحْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلْحَقِّ ۚ لِكُلٍّۢ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةًۭ وَمِنْهَاجًۭا ۚ وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةًۭ وَٰحِدَةًۭ وَلَـٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَىٰكُمْ ۖ فَٱسْتَبِقُوا۟ ٱلْخَيْرَٰتِ ۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًۭا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ [٥:٤٨]
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
Selanjutnya pada surat Al-Jatsiyah [45] ayat 18 :
ثُمَّ جَعَلْنَـٰكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْرِ فَٱتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ [٤٥:١٨]
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Demikian pula penegasan Allah dalam surat Asy-Syura [42] ayat 13 berikut ini :
شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًۭا وَٱلَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِۦٓ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓ ۖ أَنْ أَقِيمُوا۟ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا۟ فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى ٱلْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ ٱللَّهُ يَجْتَبِىٓ إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِىٓ إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ [٤٢:١٣]
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
Jika ketiga ayat ini dihubungkan, terlihat bahwa syariat itu sesungguhnya bersifat tetap (konstan) disepanjang zaman, atau dalam bahasa lain, syari’at-syari’at umum tidak berubah dengan perubahan zaman dan terus menjadi aturan ummat hingga akhir zaman. Demikian halnya dalam nilai-nilai pokok (prinsip-prinsip dasar) hukum Tuan Semesta Alam yang bersifat universal, misalnya nilai-nilai kebenaran dan keadilan ataupun nilai-nilai kebatilan dan aniaya.
Pada surat Asy-Syura [42] ayat 13 di atas, ditegaskan kembali bahwa din (syariat;sistem hukum) yang diwasiatkan (diwahukan;diajarkan) oleh Allah kepada Nabi Muhammad adalah din (millah;syariaat) yang dahulu telah disyariatkan-Nya kepada Nabi Nu, Ibrahim, Musa, dan isa. Perintah dasar kepada mereka pun sama, yakni tegakkan din (sistem hukum ciptaan Allah). Wujud dari tegaknya Din Allah tersebut adalah tegaknya atau berlakunya hukum Allah, Tuan Semesta Alam, dalam kehidupan manusia.
Dari beberapa uraian makna dari din dan syariat diatas, dapat disimpulkan bahwa makna pokok (primary meaning) kata din dan syariat itu bermuara pada (kepatuhan) hukum, yakni aturan Allah yang harus ditaati, manusia dituntut untuk mampu tunduk patuh, berserah diri hanya kepada Allah, Tuan Semesta Alam. Dengan kata lain, ada hubungan timbal balik antara kedua pihak, yakni Allah sebagai penguasa yang memiliki otoritas atau pihak yang memiliki unsur perintah, kekuasaan dan hukum, dan pihak manusia (hamba) atau rakyat sebagai pihak yang padanya terdapat sikap berserah diri, tunduk dan patuh (taat). Unsur yang menghubungkan kedua pihak itulah yang disebut undang-undang atau hukum. Inilah hubungan sejati antara Allah sebagai tuan dan ummat manusia sebagai hamba.
Tegasnya, antara makna kata millah, din, dan syariat adalah sama dan saling terkait. Dengan kata lain, inti dari sistem hukum Tuan Semesta Alam (Din Allah) yang disyariatkan-Nya kepada Rasul adalah sama dan satu yang merupakan fitrah manusia.. Bukankah sifat fitrah setiap manusia selalu sama dari zaman ke zaman; siapa pun; kapan pun, dan dimana pun ?
0 Comments