Ticker

6/recent/ticker-posts

Sungai Dan Agama



15 Tahun yang lalu Tersebutlah Asep seorang pemuda yang berasal asli dari sebuah desa di Gunung Gede Bogor. Desa yang masih asri nan hijau dipenuhi rerimbunan pohon-pohon yang sesekali berdesik karena dihembus oleh angin yang sejuk.

Disana terdapat hulu sungai yang bernama Cihaliwung yang belakangan disebut dengan sungai Ciliwung. Sungai itu kerap dijadikan tempat bagi penduduk desa untuk mencari penghidupan, karena air sungainya yang murni dan sejuk.

Begitu murninya sumber air Ciliwung, airnya dapat diminum tanpa dimasak terlebih dahulu. Anak-anak sering mandi dan bermain terjun-terjunan dari batu kali yang besar ke sungai yang areanya dalam. Begitu indahnya kehidupan di sekitar Ciliwung Gunung Gede yang memberikan keharmonisan diantara penduduknya.
Sudah lama ia berniat ingin merantau ke kota Jakarta karena mendengar kabar bahwa disana banyak kemajuan dan teknologi yang tidak ada di kampungnya. Semenjak kecil, ia belum pernah pergi ke kota Jakarta.

Ia hanya mendengarnya dari orang-orang di kampungnya yang pernah menjejakkan kakinya di ibu kota Indonesia itu kala itu. Ia mendengar cerita itu dari teman-teman sebayanya yang telah lebih dahulu merantau untuk mencari penghidupan disana.

Untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan, bersegeralah ia mendatangi pak Haji yang pernah punya pengalaman banyak di jakarta.
“Assalammu ‘Alaikum pak haji”... seraya Asep menghampiri pak haji,
“Wa alaikum salam warahmatullah... Tumben kamu berkunjung kerumah saya, kumaha kabar na, damang...” tanya pak haji yang sedang duduk-duduk di beranda rumahnya sambil melinting rokok klobot kesukaannya. Tanpa tunggu waktu Asep menyambut juluran tangan pak haji untuk menyalaminya.

Dengan logat sunda yang kental Asep menjawab, “Damang-damang... pak haji kumaha? Begini pak haji, saya punya niat ingin pergi ka kota Jakarta

saya ingin melihat-lihat kasana, kota Jakartak itu kota metropolitan ya pak haji? Banyak kamajuannya... kalo begitu saya ingin minta saran ke pak haji yang sudah malang melintang disana tentang kota Jakarta,

“Euleueh-euleueh... aseeeep asep, jaman sudah maju, kenapa baru sekarang mau ke Jakarta? Kota Jakarta itu kota yang besar, banyak kendaraan malang melintang disana, mobil dan motor sudah seperti nyamuk sangking banyaknya

Malah saya dengar sudah ada “Bus” yang di dalamnya dingin dan punya jalanan sendiri. Jakarta sekarang sudah beda dengan yang dulu... mau apa kamu disana” Sambil terbatuk kecil dan sesekali membuang dahaknya.
“Yaaa saya kan pemuda desa Gunung Gede, umur saya sudah 25 tahun, juga sudah 12 tahun di pesantren, jadi saya pingin cuci mata sekaligus tambah-tambah pengalaman. Supaya saya tidak kesasar, mohon pak haji berbagi pangalaman ka saya, agar saya tidak tersesat disana.

“Kamu mau cuci mata? ya itu saya ada sabun batangan, gosok aja matanya biar berbusah.. khekh-khekh-khekh-khekh...” sambil terkekeh-kekeh pak haji bergurau  menimpali omongan Asep.

“Kalau kamu mau ka Jakarta, kamu harus hati-ati, karena Jakarta bukan tempat tidur yang nyaman. Kalau dulu, pak haji bisa ka Jakarta naik getek (rakit bambu). Dari hulu Cihaliwung teruuus ke Bogor, terus seiring dengan jalan raya jakarta bogor, terus menembus daerah Depok

Lewat Manggarai, Cikini, Gondangdia, Gambir, Sampai deh di Monas, Gimana Ngerti kan?” tanya  pak haji kepada Asep yang termanggu mendengar uraiannya.

“Kalau sekarang mah, kamu naik aja angkot jurusan cipanas, setelah itu naik bus tiga per empat ka bogor, trus cari bus yang ke Jakarta. Pesan pak haji, kamu hati hati dan pandai-pandai jaga diri, disana banyak Kalong Wewe (Mitos kelelawar besar yang menculik anak-anak) yang siap memangsa kalau kamu lengah ...” nasihat pak haji.

“Waduh, Alhamdulillah terima kasih pak haji atas petunjuknya, saya akan ingat-ingat pesan pak haji akan Kalong Wewe, saya tidak akan lupa bawa Alqur’an buat jaga diri saya. Kalo gitu permisi saya tidak lama-lama terimaksih sekali lagi pak haji...”
Keesokan paginya Asep membawa kain sarung yang dibuntalkan untuk mengangkut pakaian dan beberapa keperluannya. Sampai di stasiun bus Bogor, ia sedikit linglung memilih bus kota yang menuju Jakarta. Ia tidak mau bertanya mengingat pesan pak haji akan Kalong Wewe yang ada dimana-mana.

Dihadapan bus-bus yang parkir dengan berbagai jurusan statsiun di Jakarta, ia memutar-mutar badannya dengan cepat ke arah kanan sambil membungkuk ruku dan meletakkan telunjuknya di kepala. Sementara itu mulutnya komat-kamit dengan sekelumit kata-kata mantra yang tidak jelas kedengarannya

 Hingga beberapa saat kemudian ia menghentikan putaran tubuhnya, sambil sedikit terhuyung, ia melihat kemana telunjuknya itu mengarah. Ternyata yang ditunjuk adalah bis kota jurusan Senen. Dengan senyum dikulum dan mantap ia menaiki bis jurusan stasiun Senen.
Angin semilir membuat Asep tak ayal tertidur pulas sambil memeluk erat buntalan kain sarung yang dibawanya. Sampai bahunya ada yang menepuk-nepuk: “Mas-mas... sudah habis mas, sudah sampai...”

“Subhanaloh, aduh saya katiduran ya. Ini kita sudah dimana ya mas’?” tanya Asep kepada kondektur yang membangunkannya. “Sudah sampai Senen, Jakarta mas.” Sontak Asep bangun dari tidur dan keluar dari bis yang ditumpanginya. Setengah sadar dan tidur, ia menaiki angkot jurusan Ancol dan kembali diterpa semilir angin yang membuatnya kembali terkena Tumor alias Tukang Molor.
Sampai suatu saat ia terbangun karena supir angkot mendadak menepuk pundaknya: “Mas-mas.. angkotnya mogok, pindah aja pindah..”
“masyaallah... aduh saya ketiduran lagi ??? Sampai mana ini ya mang?”
“Sampai Gunung Sahari, sudah turun ngga usah bayar deh..” kata supir angkot.
Ketika Asep melangkahkan kakinya keluar angkot, ia mencium bau yang tidak sedap menyengat hidungnya, membuatnya mual dan pusing. “Khaaaaakhh... cuih!!! Bau apah inih?” tanyanya pada diri sendiri. Rupanya bau yang tak sedap itu berasal dari sungai yang airnya berwarna hitam-pekat, penuh dengan sampah dan selaksa kotoran. Sungai itu berdampingan dengan jalan raya Gunung Sahari.
Sambil menutup hidungnya Asep bertanya kepada penjual rokok di pinggir sungai. “Kang-kang... mohon maaf mau tanya, ini sungai apa ya, aromanya bau banget?”
“Oooh... mas baru ya di Jakarta” tanya tukang rokok. “Ini sungai Ciliwung mas...”
Jawaban itu kontan membuat Asep terperanjat.

“A...a...apa  Cililiwung? Cihaliwung???”
“Iya mas, emangnya kenapa?” tanya tukang rokok lagi.
“Kang, kalo yang namanya Ciliwung itu, di kampung saya airnya tidak seperti ini. Airnya jernih, banyak batu kali, banyak ikannya, tempat bermain anak-anak, mandi, bahkan diminum saja bisa... Ini mah bukan Ciliwung, tapi kubangan kotoran ya??”

Mendengar perkataan Asep yang kedengarannya menghina itu, tukang rokok yang memang asli Betawi Gunung Sahari menggertak: “Hee.. mas, semenjak gue lahir dari emak gue, air Ciliwung itu udah item kayak gini. Nah. emang dari sana nya aja kali, dari bogor sana aja, mas yang buang sampah sembarangan jadi item kayak gini.

Kalau udah masuk musim hujan, dapet dah kite kiriman banjir dari bogor. Dari dulu tuh udah item kayak gini kondisinya?! Air Ciliwunglah dibilang bisa diminum? Tuh minum kalo mas mau  mati, orang kurang “se on” (kurang waras) aja yang mau minum air ini... Nggak ada sejarahnya Ciliwung jernih.. Mimpiii kali...” Diiringi tawa setengah mengejek balas.
“Bener kang, penduduk kampung saya akrab dengan Ciliwung yang menjadi sumber penghidupan. Airnya bisa menghidupi banyak orang disana. Coba kalo kalau akang main ke kampung saya, akang bisa mandi sepuasnya dengan air Ciliwung yang sejuk. Memangnya akang tidak mau punya sungai sejernih Ciliwung di kampung saya?” Ujar Asep.
“Saya juga tau .. Ciliwung itu kan asalnya jernih di kampung mu. Tapi kan udah lewat bogor, kemasukan sampah... Lewat depok, kemasukan bangkai tikus... Masuk manggarai apalagi... Udah deeh lu nggak usah ngajarin gue. Gue aje kagak pusing-pusing amat.

Nikmatin aja yang udah ada, Nggak usah nyari yang macem-macem, pake bilang mau minum air Ciliwung segala. Mendingan sukurin aja yang sudah ada, jangan berharap yang muluk-muluk. Terima aja kalo Ciliwung itu udah bau dan kotor kayak gini! Terima aja kenyataannya...”
Dalam hati Asep berkecamuk berbagai pertanyaan. Dia bingung, mengapa orang-orang di jalan Gunung sahari tidak bergeser dari tempat duduknya ketika mendapati sungai yang mengaliri daerahnya sudah hitam pekat seperti aspal. Apalagi bau yang tidak sedap mengganggu pernapasan penghirupnya.

Tidakkah mereka merasa terganggu dengan keberadaan Ciliwung yang kotor itu? Tidakkah ada usaha penduduk untuk memurnikan kembali Ciliwung sebagaimana sungai di kampungnya? Karena yang namanya Ciliwung itu pada hulunya berair jernih. Mengapa orang-orang di Gunung Sahari tetap menamakan sungai yang hitam pekat itu Ciliwung?

Pertanyaan yang bagaikan benang kusut itu meretas jawaban dalam diri Asep: Mungkin ini yang kata pak haji -ketika memberi wejangan padanya; bahwa agama pun sudah seperti Ciliwung di Gunung Sahari. Sudah masuk berbagai ajaran kotor dan bau.

Tetapi orang-orang di dalamnya sama sekali tidak terganggu dan tidak menyadarinya. Tidak mempunyai usaha untuk kembali kepada ajaran agama yang murni. Wejangan inipun bersambut dalam benak Asep tentang fenomena orang-orang yang kulitnya agamis tetapi suka melakukan hal-hal yang dilarang dalam agama.

Anehnya, orang-orang yang berusaha kembali pada sumber ajarannya justru mendapat hinaan dan cercaan, dimusuhi, dianggap orang yang sinting, mengkhayal, dan sesat.
Walau baru beberapa saat menjejakkan kakinya di kota Jakarta, Asep segera bergegas untuk kembali ke kampungnya. Lebih baik ia mandi dengan telanjang bulat di Ciliwung kampungnya, daripada harus menerima keberadaan Ciliwung di Gunung Sahari, walaupun hanya mencuci kakinya saja.

Post a Comment

0 Comments