Ticker

6/recent/ticker-posts

Anatomi Qolbu

ANATOMI QOLBU

Manusia dikatakan sebagai makhluk dari Paripurna Penciptaan karena memiliki kelebihan dari makhluk lainnya. Ia adalah Sarana Berfikir sebagai bekal untuk beraktifitas di muka bumi ini sehingga manusia dapat bekerja sesuai dengan apa yang diperintahkan-Nya. Sarana berfikir itu hanya dapat bekerja pada organ yang bernama otak (Brain). Tidak ada satu organ-pun pada tubuh manusia yang fungsinya untuk memahami, mengevaluasi, menimbang-nimbang kecuali Otak.

Dalam otak manusia, secara nature terdapat 3 kepandaian / intelegensia yang harus dipergunakan oleh manusia untuk memahami dan menyikapi interaksinya terhadap alam, dimana pada akhirnya manusia harus menyelaraskan sikap hidupnya kepada petunjuk-petunjuk Sang Pencipta yang terkandung dalam Al-Qur’an. Karena apa yang diajarkan di dalam Al-quran tidak pernah bertabrakan dengan eksistensi alam semesta, petunjuk-Nya tidak pernah berseberangan dengan sarana berfikir manusia sebagai modal untuk memahaminya. Karena Dia-lah yang mengajarkan ilmu pada manusia dengan perantaraan alam. 3 Kepandaian itu yang sekarang banyak disebut sebagai Kepandaian Intelegensia, Kepandaian Emosional, dan Kepandaian Spiritual (IQ, EQ, SQ). Semua kepandaian ini memiliki efek yang cukup besar terhadap perilaku manusia, dan dunia pada umumnya.

Dari segi bahasa, Kepandaian Intelegensia (IQ) adalah kemampuan yang dimiliki oleh manusia untuk belajar, memahami, mengevaluasi, menghitung, mengingat, dan me-manage ilmu-ilmu yang terdapat pada alam. Kepandaian Emotional (EQ) adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh manusia untuk mengolah hal-hal yang berhubungan dengan rasa, cinta-kasih, sedih, bahagia, iba. Sedangkan Kepandaian Spiritual (SQ) adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh manusia untuk mencari fungsi dirinya, mencari status dirinya terhadap alam semesta, mencari Penciptanya, serta untuk mencari dan memahami esensi hidup ini. Apakah Al-quran menyinggung masalah ke-3 kepandaian di atas? Mari kita bedah sedikit tentang kandungan Al-quran sebagai petunjuk hidup bagi manusia yang justru banyak membahas tentang masalah psycho-social ini.
Pada surat Al-Israa ayat 36 (QS: 17/36) menyatakan:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya Pendengaran, Penglihatan dan Hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” Jika kita memahami Surat Al-Israa ayat 36 dalam bentuk tekstual-nya saja, maka akan timbul berbagai pertanyaan:

Bagaimana pendengaran kita bisa bertanggung jawab, berbicara? Bagaimana dengan mata? Bagaimana pula dengan hati bisa bertanggung jawab? Apakah mereka bisa berbicara? Jawaban yang umum ada tentang hal di atas adalah: “Itu terjadi nanti setelah kita mati, karena pada saat itu telinga kita bisa berbicara mengenai apa yang pernah kita dengar selama di dunia, mata kita juga bisa memberikan penjabaran tentang apa yang sebenarnya kita lihat, hati kita juga akan berpartisipasi dalam mengutarakan hal-hal yang baik maupun yang buruk kepada Nya.”

Jawaban seperti itu tidak memberikan masukan kepada manusia, tentang apa hubungan antara ayat-ayat di atas dengan 3 sarana yang diminta pertanggung jawaban tadi. Apa hikmah yang harus disikapi dari ayat Quran tadi yang kerap didengung2kan sebagai pedoman hidup. Bukankah Al-quran itu sebagai petunjuk untuk manusia? Bukankah yang namanya petunjuk itu harus rasional, bisa diikuti, diteliti, dapat dipahami oleh manusia? Kalau tidak rasional, mengapa Dia menurunkan dan mengharuskan manusia menjadikannya sebagai guidance dalam hidup? Lantas apakah fungsi HATI manusia itu untuk bertanggungjawab, berbicara? Bukankah hati itu katanya Qolbu? Mengapa pada surat 17/36 tadi arti hati dalam teks arab-nya FUADA? Apa bedanya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak akan mendapatkan jawaban yang akurat dan bisa diterima akal fikiran, jika jawabannya diserahkan kepada manusia. Ini menyebabkan banyak manusia mengubur sisi ilmiahnya jika menggali masalah agama dan menafikkan ilmu alam yang dimiliki. Hingga seorang pakar science dapat mengalahkan kebenaran ilmu alam yang dimilikinya ketika mendalami agama, karena “kepentok” permasalahan di atas. Dan sebaliknya, ketika menggali masalah ilmu science ia akan membenamkan kebenaran yang Haq dari Sang Pencipta, karena menurutnya berisi sesuatu yang tidak up to date dengan ilmu alam yang digelutinya.

Hal ini akan menimbulkan kesan bahwa agama tidak sepenuhnya cocok dengan ilmu alam dan fikiran yang dimiliki manusia. Tidak semua ayat dalam Quran bisa dipahami oleh manusia. Padahal Sang Pencipta justru mengajarkan manusia dengan perantaraan alam, untuk dipahami dengan modal dasar manusia yaitu akal fikiran sebagai sarana untuk menemukan esensi fungsi dirinya terhadap Sang Pencipta.

QS: Shaad 38/29:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”

Dari surat Shaad ayat 29 di atas dapat ditangkap bahwa manusia dalam memahami dan menyikapi ayat-ayat yang termaktub di dalam Quran harus menggunakan sarana berfikir, untuk memperhatikan tentang hal apa yang sedang dibicarakan pada ayat-ayat yang bersangkutan. Sehingga manusia yang menggunakan AKAL FIKIRAN dapat mengambil pelajaran dari apa yang diperintah dan dilarang Nya. Ayat ini memerintahkan bahwa, di dalam membaca Quran, manusia mutlak harus menggunakan akal fikiran untuk memahaminya dan tidak mengandalkan unsur kepercayaannya saja. Dan Quran hanya bisa “dibaca” oleh manusia yang menggunakan Akal Fikirannya. Berarti manusia yang tidak menggunakan sarana berfikirnya sebagai modal dasar untuk memahami ayat-ayat Quran, maka ia dijamin tidak dapat memperhatikan dan mengambil pelajaran dari apa yang diajarkan Nya. Surat Shaad ayat 29 di atas jelas menepis “Dogma” yang mengatakan bahwa membaca 1 huruf dalam Quran bisa menghasilkan 10 kebaikan. Sehingga banyak manusia merasa dapat 10 pahala walau baru membunyikan huruf-hurufnya saja, tanpa perduli dan memahami akan ayat yang dibacanya.

Mari kita gunakan akal fikiran, bukan akal-akalan, untuk memahami ayat-ayat Alloh, dan bukan berbekal ikut-ikutan saja, karena Ia sangat membenci manusia yang membaca petunjuk Nya tanpa memahami dan menyikapinya.

Tubuh manusia memiliki organ otak sebagai pusat dari segala perintah bagi bekerjanya organ-organ yang lain seperti tangan, kaki, indra, dll.
Jika kita melihat anatomi otak manusia, terdapat beberapa bagian yang memiliki tugas yang berbeda.
Mereka adalah:

1. CEREBRUM

Yaitu OTAK BESAR yang menempati ruang paling besar dalam system otak manusia. Ia terbagi dua menjadi Otak Kanan dan Otak Kiri. Para ahli psychology menjabarkan pembagian otak kanan dan otak kiri ini sebagai tempat berkembangnya kemampuan seni dan kemampuan eksakta. Itu adalah istilah agar mudah menjelaskan kepada khalayak mengenai pembagian tugas pada Otak Besar.

Secara anatomy, fungsi otak besar bagian kanan adalah untuk menggerakkan organ-organ pada tubuh manusia pada bagian sebelah kiri. Dan otak besar bagian kiri adalah untuk menggerakkan organ-organ pada bagian kanan. Jika tangan kanan kita bergerak, sesungguhnya itu diperintah oleh otak besar bagian kiri, dan mata kiri kita berkedip, itu karena diperintah oleh otak besar bagian kanan. Kedua bagian Otak Besar ini memiliki kemampuan untuk memerintah yang bersilangan pada hulu tulang belakang (Spinal Cord). Pada bagian belakang dari kedua bagian otak besar ini berfungsi sebagai tempat diprosesnya PENGLIHATAN. Sedangkan bagian samping dari kedua bagian otak besar ini berfungsi sebagai tempat diprosesnya PENDENGARAN.

CEREBRUM memiliki bentuk permukaan yang khas -membelit, berkerut dan seperti sebuah ban dalam sepeda yang terikat. Permukaan ini disebut dengan CEREBRAL CORTEX. Warnanya merah muda, menandakan kecilnya pembuluh darah yang mengalirinya. Lipatan-lipatan yang ada pada permukaan itu disebut CONVOLUTIONS. Ia bertugas menambah daerah permukaan bagi Cortex. Pertambahan pada daerah tersebut menandakan bertambahnya jumlah sel pada Cortex. Ini sangat penting karena pada dasarnya kepandaian seseorang tergantung dari banyaknya jumlah sel urat syaraf yang ada pada Cortex. Otak besar inilah yang memiliki kemampuan Intelegensia; untuk menganalisa, berhitung, berfikir, menerima rangsangan, dan bekerja pada hal yang ada kaitannya dengan ilmu-ilmu yang ada pada alam.

Dari hal ini timbul pertanyaan: Apakah semakin besarnya CEREBRUM seseorang membuat ia semakin pintar? Pertanyaan ini cukup singkat dan ilmiah. Penelitian membuktikan bahwa berat CEREBRUM seekor gajah adalah 3 x lipat dari yang dimiliki manusia, tapi kemampuan intelegensianya justru dibawah manusia. Ternyata yang menentukan kemampuan intelegensia adalah jumlah lipatan-lipatan yang ada pada otak besar (Convolution). Otak besar inilah tempat ditelitinya Kepandaian Intelegensia (IQ).

Selanjutnya Quran menjelaskan dalam surat Al-Mu’minun ayat 78 (23/78):

“Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, Pendengaran, Penglihatan dan AF’IDA. Amat sedikitlah kamu bersyukur.”

QS: 46/26:
“Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami telah memberikan kepada mereka Pendengaran, Penglihatan dan AF’IDA; tetapi Pendengaran, Penglihatan dan AF’IDA mereka itu tidak berguna sedikit juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokkannya.”

Kata AF’IDA sengaja digunakan untuk membedakan dari arti “hati” yang tertulis. Karena teks aslinya -tulisan arabnya- sendiri adalah AF’IDA, FU’ADA. Langkah kembali kepada istilah asal semata2 untuk menelusuri arti dari AF’IDA itu sendiri, dan untuk menghindarkan kerancuan dalam pemahaman akan ayat tersebut. Arti kata AF’IDA ini akan kita ketahui dari penjelasan berikut ini.

Jika kita lihat kembali, fungsi PENDENGARAN dan PENGLIHATAN ada pada Otak besar bagian belakang dan bagian samping. Ke dua fungsi ini bekerja pada otak besar. Dan kedua fungsi ini adalah sarana bagi manusia sebagai kemampuan audio dan visual agar otak besar dapat berfikir, menghitung, belajar, mengingat, dan menganalisa sebagai output dari logika berfikirnya. Dengan demikian kata AF’IDA yang dimaksud dalam ayat ini adalah OTAK BESAR (Cerebrum) yang tugasnya memahami ilmu-ilmu alam, bukan hati.

Demikian pula hal yang dimaksud dalam surat 17/36, dimana kata AF’IDA juga bermakna sarana berfikir untuk memahami ilmu-ilmu akwan, yaitu Otak Besar. Dan Ia melarang manusia untuk mengikuti sesuatu apapun tanpa dibekali pengetahuan, tanpa penjelasan yang dapat diterima akal fikiran. AF’IDA (otak besar) inilah yang diteliti sebagai tempat berkembangnya Kepandaian Intelegensia (IQ).

Allah murka terhadap manusia yang mengikuti sesuatu tanpa ilmu. Dan ilmu dapat dipelajari - diaplikasikan oleh manusia yang mempergunakan sarana Pendengaran, Penglihatan dan Af’ida-nya untuk kepentingan Allah saja. Karena diciptakannya manusia adalah untuk mengabdi kepada Nya saja, mengapa hari ini banyak manusia yang mempergunakan sarana itu bagi kepentingan selain Dia?!

Mengapa Allah murka terhadap manusia yang mencampuri sesuatu tanpa menggunakan sarana Pendengaran, Penglihatan, dan Af’ida? Karena sarana tadi diciptakan agar manusia menggunakannya dalam menunaikan tugas yang dititipkan Nya. Amanah itu tidak bisa dilaksanakan tanpa menggunakan sarana berfikir sebagai modal dasar yang diberikan pada manusia.

Apabila ada manusia yang mengikuti sesuatu tanpa bisa menjelaskan secara ilmiah apa yang diyakininya, itu berarti ia melanggar rambu-rambu Allah di atas. Pasti orang tersebut akan melakukan hal yang sia-sia, menghasilkan hal yang temporer, bukan yang sejati. Allah sangat membenci terhadap manusia yang mengaku beribadah tetapi hanya bermodalkan pengkultusan terhadap seseorang, ikut-ikutan saja, tanpa dapat menjadi saksi dari hal yang diyakini dan dianggapnya benar.

Tidak ada satu ayat-pun yang tidak bisa dibuktikan oleh manusia yang beriman, karena sifat dari ayat-ayat yang diturunkan tersebut adalah sebagai petunjuk dan fakta –Ayyatin Bayyinatin. Tentu hal ini berlaku bagi orang yang beriman kepada apa yang di Firmankan-Nya, karena petunjuk-petunjuk itu baru bermanfaat bagi orang yang sadar dan mempunyai tekad untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang ber-hak untuk mengatur segala sesuatu, Robbul Aalamiin, yang ber-hak untuk mengatur hukum kehidupan pada tatanan manusia.



2. CEREBELLUM

Yaitu OTAK KECIL yang berada pada bagian belakang dari kepala manusia. Ia berfungsi sebagai penjaga keseimbangan (balance/Mizan), kesadaran (consciousness), dan akurasi dari aktivitas tubuh. Fungsi keseimbangan (balance) sangat berperan ketika tubuh akan melakukan aktivitas seperti berdiri, berjalan, berlari, mengerjakan puzzle, sehingga tubuh tidak terjatuh dan bisa melakukan berbagai aktivitas. Fungsi keseimbangan dalam cerebellum ini juga berperan ketika manusia ingin membagi sesuatu secara adil, menentukan volume radio, dan menentukan kadar garam pada suatu masakan.

Fungsi Kesadaran (consciousness) sangat berperan pada tubuh untuk setiap aktivitas yang dilakukan, sehingga manusia bisa berfikir, marah, dan berekspresi pada setiap apa yang dihadapinya. Tanpa kesadaran maka organ-organ pada tubuh tidak bisa bekerja dengan normal/tanpa control. Fungsi ini juga berperan ketika manusia menyadari bahwa ia terlambat masuk sekolah, masakannya hangus, janji yang terlewatkan, serta menyadari ketika ia sudah berbuat salah.

Fungsi akurasi sangat berperan ketika tubuh ingin menuangkan teh, menembak sasaran, dan memasukan benang pada lubang jarum. Disamping itu fungsi akurasi juga berperan untuk ketepatan kita dalam memilih bisnis apa yang akan booming, menjawab pertanyaan dengan tepat, dan menentukan kata apa yang harus diucapkan.

Fungsi-fungsi tersebut akan bekerja dimulai ketika manusia pertama kali dapat mengenal benda, mengetahui api itu panas, jatuh dari tangga, dan hal-hal yang baru dipahami seiring dengan pertumbuhan badan dan usia. Maka setiap manusia memiliki takaran keseimbangan, kesadaran, dan akurasi yang berbeda dengan manusia lainnya, tergantung bagaimana dan seberapa kental ia mengenal hal yang dipelajarinya itu.

Sebagai contoh:
Seseorang menilai rasa sebuah sayur asem tepat takaran garamnya (Seimbang/Mizan). Sedangkan orang lain mempunyai penilaian bahwa sayur asem tadi terlalu asin. Perbedaan rasa asin ini tergantung bagaimana seseorang memahami arti rasa asin, tentunya menurut apa yang telah dipelajari untuk pertama kalinya. Walaupun rasa asin itu pertama kali ditangkap oleh Otak Besar, tetapi evaluasi rasa asin itu harus mereferensi pada rasa asin yang dipahami oleh Otak Kecil. Banyak kebiasaan dan skill yang dahulu kita pernah pelajari tersimpan dalam Otak Kecil ini. Ketika ilmunya kita sudah pelajari dan kuasai, maka ia akan disimpan dalam Otak Kecil dan akan bekerja secara otomatis.

Otak Kecil memerintahkan otot agar memungkinkan kita untuk berjalan, mengendarai sepeda, memainkan piano, atau membaca.

Sebagai contoh:
Waktu belajar sepeda, semua perhatian kita terfokus untuk bagaimana caranya untuk mengendarai sepeda agar berjalan mulus. Karena terfokusnya perhatian kita, hingga tidak sadar bahwa kaki kita telah lecet tergesek pedal yang sembarangan kita injak. Artinya seluruh fungsi otak tersedot pada aktivitas belajar dan mengendarai sepeda untuk pertama kalinya. Tapi ketika kita sudah mahir, maka fungsi Otak Besar dapat digantikan oleh Otak Kecil. Dimana secara otomatis kita dapat mengendarai sepeda dengan mulus sementara kita dapat berfikir yang lain seperti kemana kita pergi, akan membawa apa dalam sepeda, dan dapat menegur/menyapa kenalan yang kita jumpai, tapi kita tetap dapat mengendalikan sepeda dengan mulus.

Begitu pula dalam menilai keseimbangan dalam hidup. Manusia akan selalu mereferensikan apapun yang dihadapinya kepada standard keseimbangan yang dipahami oleh Otak Kecil.
Uang 1 juta rupiah menurut seorang buruh pabrik terasa melegakan ketika ia menerimanya sebagai gaji bulanan. Tetapi bagi sebagian orang jumlah itu sangat jauh dari cukup karena diukur dari keseimbangan yang telah terpatri dalam Otak Kecil-nya sebagai tuntutan gaya hidup.

Otak Kecil ini yang banyak diteliti sebagai tempat dari Kepandaian Spiritual. Ia menjadi sarana terakhir bagi penilaian keseimbangan akan sesuatu apapun. Dan manusia cenderung mengandalkan output dari Otak Kecil ketika mencari esensi hidup yang pada akhirnya akan membimbing kepada pencarian akan Penciptanya, karena tiap manusia membutuhkan keseimbangan hidup dalam segala aspek. Tetapi tergantung dari apa yang mengisi Otak Kecilnya. Bisa jadi kegiatan spiritual yang dianggapnya mendapat Ridho dari Sang Pencipta, justru merupakan sesuatu yang dibenci Nya. Artinya terjadi ketidakseimbangan antara apa yang seharusnya dilakukan, dengan blue print yang telah dicetak oleh Penciptanya. Orang yang tidak seimbang, maka ia tidak dapat “berjalan lurus”. Tanpa keseimbangan, bisa jadi ia berjalan “seradak-seruduk” tetapi mengklaim dirinya “berjalan lurus”.

Al-quran rupanya banyak menyinggung keberadaan fungsi spiritual ini pada manusia, tetapi memang dalam pemahamannya memerlukan sedikit pemikiran sebagai jembatan untuk mengetahuinya:

QS: Al-Mulk 67/13

“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi SUDUR (hati).”

QS: An-Naas 114/5
“yang membisikkan (kejahatan) ke dalam SUDUR (dada) manusia.”

QS: At-Thaha 20/25-28
Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku SODRI-ku (dada), dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku,”

QS: Al-Syu’ara 26/13:
“Dan (karenanya) sempitlah SODRI-ku (dada) dan tidak lancar lidahku maka utuslah (Jibril) kepada Harun.”

Pada Al-Mulk 67/13, jika kata SUDUR diartikan sebagai hati adalah sangat tidak tepat. Apakah manusia menyimpan sesuatu di dalam hati? Sedangkan Hati menurut bahasa anatomi adalah Liver. Dan Liver bukan untuk menyimpan rahasia, tetapi untuk menyimpan kelebihan zat gula yang kemudian dirubah menjadi GLYCOGEN agar ketika tubuh memerlukan gula sebagai bahan bakar kerja otot, maka GLYCOGEN itu akan diubah menjadi zat gula kembali untuk diproses dan dikonsumsi oleh otot yang membutuhkan.

Pada An-Naas, At-Thaha dan Al-Syu’ara, jika kata SUDUR/SODRI diartikan sebagai dada adalah juga tidak tepat. Apakah tempat menerima bisikan itu di dada? Bukankah bisikan itu diterima oleh telinga? Apakah Nabi Musa -setelah berdoa minta dilapangkan dada- kemudian dadanya bisa bertambah lebar? Bukankah dada tidak ada hubungannya dengan kelancaran dalam berbicara? (QS: 20/25-28). Apakah Nabi Musa mempunyai penyakit ASMA, dimana dadanya terasa sempit sehingga “minder” dan meminta Harun untuk menemaninya dalam memperingati Firaun? (QS: 26/13)
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan semakin membingungkan dan tidak dapat diambil pelajarannya apabila kita menerima begitu saja kata-kata kiasan dalam Quran.

Manusia adalah makhluk symbol yang kerap mengatakan sesuatu yang kelihatannya tidak ada hubungan dengan esensi yang akan dikemukakan, padahal tujuannya agar mudah dipahami oleh orang yang mendengarnya.

Contoh:
Ketika orang merasa ketakutan, ia akan berkata: “Hatiku berdebar rasanya” sambil memegang dadanya. Jika dilihat, apakah yang berdebar itu hati? Bukankah hati -Liver- itu terletak pada bagian kanan atas perut? Kenapa justru ia memegang dadanya? Bukankah yang berdegup –berdebar itu jantung?

Kata “Hati” yang digunakan membuktikan bahwa manusia adalah makhluk symbol yang ingin mengungkapkan sesuatu sebagai wakil dari apa yang dirasakannya. Ketakutan yang timbul sebenarnya disebabkan system otak manusia merespon sebuah ancaman, dan ini membuat kelenjar PITUITARY memerintahkan hormon ADRENALINE untuk merangsang jantung agar memompa darah lebih cepat, paru-paru bekerja ekstra sedangkan oksigen tidak cukup sehingga nafas jadi “ngos-ngosan”, keringat keluar, otot meregang dalam waktu yang relative lama, urat nadi ke bagian wajah terhimpit oleh otot yang meregang sehingga wajah terlihat pucat bagai mayat.

CEREBELUM, Ketika kebiasaan atau persepsi yang sudah tertanam pada Otak Kecil, maka perlu usaha yang ekstra untuk dirubah arahnya, karena isinya sudah tertanam semenjak dahulu oleh suatu pengalaman pribadi tertentu. Walaupun kita sudah tahu bahwa hantu “Pocong” itu adalah bualan anak kecil, tetapi tetap saja bulu kuduk kita merinding jika berjalan sendiri melintasi ke tengah taman pekuburan pada jam 12 malam. Ini disebabkan pada Otak Kecil kita sudah tergurat cerita-cerita isapan jempol yang kita tonton/dengarkan sewaktu kecil. Ketakutan itu telah memberkas dan sulit untuk dihapus sampai dengan hari ini. Rekaman itu akan kembali keluar secara otomatis dikala kita merasa terancam pada kasus yang sama.

Otak kecil inilah yang disebut dalam Al-Quran sebagai SUDUR yang dalam bahasa anatomy-nya disebut Cerebellum. Karena miskinnya bahasa Indonesia, kata Sudur diadopsi menjadi SADAR, KESADARAN (Consciousness). Sedangkan kesadaran -baik secara fisik maupun psychologis- terletak pada Cerebellum atau Otak Kecil, bukan “hati” sebagaimana yang banyak diungkapkan.

SUDUR manusia berfungsi sebagai alat penyaringan segala sesuatu menurut apa yang dipahami dahulu. Maka pantaslah jika ada orang yang mengatakan antara Akal dengan Hati itu berbeda. Maksudnya apa yang diproses dan dianalisa oleh Otak Besar kadang suka bertabrakan dengan filter yang dari Otak Kecil. Tergantung apa yang dahulu telah mengisi Otak Kecil itu. Jika ajaran yang mengarahkan menjadi manusia materialistis yang mengisinya, maka segala sesuatu yang terkandung dalam Kesadarannya adalah sesuatu yang dihitung antara untung dan rugi, kaya-miskin, dapat atau tidak, menang-kalah, dan pasti pamrih. Yaitu berbuat sesuatu untuk mengharapkan balasan, baik di dunia maupun setelah mati, siapapun yang mengajarkannya.

Jika kita menelan bulat-bulat akan arti SUDUR sebagai Dada pada surat yang dipaparkan sebelumnya, bagaimanakah nabi Musa bisa dilapangan dadanya untuk menghadapi Fir’aun?
Ungkapan keluasan akan SUDUR yang diminta nabi Musa adalah ketenangan Kesadarannya di dalam menghadapi para “Penyihir” Fir’aun, dimana kata-kata mereka menyakitkan dan membuat “kuping menjadi panas”. Tanpa ketenangan Kesadaran/Sudur, ketika kita diserang oleh pendapat lawan bicara kita, maka bekal apapun yang kita punya akan menghasilkan “Debat Kusir” yang tiada berujung.
Dan nabi Musa bukan hendak membawakan sesuatu dari hasrat pribadinya, tetapi ia hanya menyampaikan apa yang seharusnya ia sampaikan sebagai perintah dari Robb-nya.

Bukankah ketika sedang beradu konsep yang diawali dengan kegelisahan kesadaran justru akan membuat kita bagaikan “katak dalam tempurung”. Kata-kata yang menyerang kita akan menyulut tanggapan yang tidak rasional, bahkan kita bisa mengungkapkan suatu dogma yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya hanya untuk memenangi perdebatan.
Tentu nabi Musa menginginkan ketenangan kesadaran itu karena Konsepnya sedang diserang oleh konsep para Penyihir Fira’un. Jika yang menyerangnya bukan konsep yang ilmiah, maka nabi Musa tidak akan mengacuhkannya karena itu akan berlabuh pada pertengkaran yang tidak bermanfaat.

Yang tadinya diam, jika terbawa arus akan rela menyiksa bahkan ikut membakar seorang yang baru ditengarai sebagai pencuri motor.
Yang tadinya “intelek” dan “terhormat”, ketika ke-akuannya terancam, mau beradu jotos.
Yang tadinya agamis, ketika privacy-nya terganggu, maka ia akan melontarkan kata-kata yang tidak layak didengar kepada seterunya.
Kelapangan Sudur inilah yang dimiliki oleh orang yang beriman kepada Nya. Sehingga mereka tidak akan tersulut oleh paham arus orang banyak, tetapi lebih elegant dalam menanggapi sesuatu.

Orang yang beriman tidak mudah terpancing oleh panasnya gangguan lawan bicara yang menentang ayat-ayat Nya. Karena seorang mukmin apabila ia sedang mengingatkan orang lain, sebenarnya bukan ia yang berbicara, tetapi ia sedang menyampaikan amanat dari sang Pencipta. Maka jika ada orang yang tidak suka akan apa yang dibawanya, ia tidak pernah merasa terhina. Tapi ia menganggap bahwa orang itu belum dibukakan pintu hidayah oleh Nya.
Kalaupun mereka memperoloknya, itu sebenarnya mereka sedang memperolok Sang Pencipta.

QS: 6/33:
“Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.”

Hari ini Sudur bangsa Indonesia sedang digoyang oleh tarikan materi dan klenik yang memperbodoh pandangan dan pola hidup, dimana limbungnya kesadaran itu membuat hilangnya keseimbangan pada banyak aspek kehidupan. Perbudakan dibiarkan terjadi dimana-mana, sementara bangsa ini mengumpankan dirinya menjadi sarana kegiatan industri yang berbiaya rendah bagi Negara-negara maju; yaitu dengan cara meminimalisasikan kompensasi terhadap upah buruh sebagai klaim keunggulan komperatif.
Yang berpangkat menggencet rakyat jelata, bahkan kehidupan spiritual diwarnai oleh ajaran klenik yang sama sekali tidak bisa dibuktikan kebenarannya, baik menurut kitab suci maupun fakta yang konkrit. Keadaan seperti ini semakin hari bukan semakin mereda, tetapi justru semakin parah. Hari ini manusia sudah semakin absurd terhadap perintah yang sebenarnya harus dilaksanakan, bahkan merasa menjalankan ibadah, padahal itulah yang dibenci Nya.

Di dalam Sudur terdapat potensi untuk mengabdi kepada Sang Pencipta (Gharizah Ilahiyah).
Potensi ini sebagai bekal bagi manusia untuk dapat mengabdi sesuai dengan petunjuk yang diturunkan Nya. Tanpa memasangkan antara potensi ini dengan petunjuk Nya, maka pola hidup manusia tak ubahnya layaknya ternak, bahkan bisa berkelakuan lebih rendah.

Potensi ini dapat dilihat pada seorang ibu yang akan melindungi anaknya, walaupun tidak ada yang mengajarkannya.
Begitu juga dengan ketertarikan seorang manusia terhadap lawan jenis, akan muncul dengan sendirinya walaupun tidak ada private untuk mencintai lawan jenis itu.
Potensi inilah yang disebut INSTINCTIVE BEHAVIOUR; yaitu perilaku yang berdasarkan insting, sebuah sikap untuk mempertahankan hidup. Instictive Behaviour juga dimiliki oleh hewan guna dan makhluk lainnya; seperti burung yang selalu membuat sarang, kerbau yang berkembang biak, dan kucing yang marah ketika makanannya diganggu.
Manusia berkelahi dengan manusia lain untuk mempertahankan makanannya, itu Instinctive Behaviour. Melindungi keluarganya, itu Instinctive Behaviour. Dan mencari untuk megabdi pada Penciptanya, itu Instinctive Behaviour.

Tetapi jika hanya Instinctive Behaviour yang dijadikan dasar hidupnya manusia tanpa diisi dengan wahyu yang terkandung dalam kitab suci, maka norma dan pola hidup yang dibangun dan dicontohkan oleh para utusan Nya akan menjadi hal yang sangat mustahil untuk dilakukan. Padahal para utusan itu hanya sebagai model untuk diikuti manusia, bukan sebagai obyek, hingga hari ini manusia cenderung mengkultuskan para nabi, lebih hebat dibanding mematuhi konsep yang disampaikan oleh nabi itu sendiri dalam kitab suci.
Jika Instinctive Behaviour tidak dibimbing oleh Wahyu, ia akan berkembang menjadi ke-akuan dan keserakahan yang mengutamakan kebutuhan insting -naluriahnya daripada tuntutan Robb-nya. Dan pasti sifat itu akan bergerak ke arah kerusakan moral maupun fisik tanpa disadari.



3. HYPOTHALAMUS

Bagian yang ke tiga dari otak adalah yang disebut sebagai Hypothalamus atau Hypophysis. Yaitu bagian otak yang letaknya kira-kira ditengah-tengah antara Otak Besar dan Otak Kecil.
Hypothalamus ini berfungsi untuk mengontrol rasa lapar-haus, pengaturan suhu tubuh, dan yang paling penting adalah masalah Emosi seperti marah, sedih, tertawa dan bahagia.

Layaknya sebuah thermostat pada sebuah pendingin udara, Hypothalamus berfungsi sebagai penjaga suhu tubuh agar tetap berada pada kisaran 37 derajat Celcius.
Pada tempat yang temperature suhunya dingin, panas tubuh harus dipertahankan. Hypothalamus memerintahkan Kumpulan Urat Nadi yang kecil (Arterioles) untuk menyempit, maka semakin sedikit panas tubuh yang keluar dari kulit. Otot meregang lebih hebat dari biasanya. Dan ketika meregang, otot membakar lebih banyak kalori untuk memproduksi panas bagi tubuh. Jika otot kekurangan bahan bakar untuk meregang, maka otot akan mengalami yang disebut dengan Kram. Ia kelebihan Asam Laktat sebagai salah satu akibat dari kurangnya bahan bakar otot.

Begitu pula pada lokasi yang kondisi temperaturenya lebih panas, dimana tubuh harus melepaskan panas yang ada pada tubuh. Hypothalamus akan memerintahkan Arterioles untuk melebar, dengan demikian semakin besar panas yang keluar dari tubuh. Kelenjar keringat memproduksi keringat sebagai sarana bagi pengeluaran panas, dimana keringat itu menyebar pada kulit yang suhunya meningkat sehingga menguap dan dapat mengurangi panas tubuh.

Hypothalamus sangat erat hubungannya dengan kelenjar PITUITARY, dimana kelenjar ini mengontrol hampir seluruh kelenjar yang ada pada tubuh, temasuk kelenjar yang memproduksi hormon GnRH (Gonadotropin-releasing Hormone) untuk masalah ambisi dan keinginan SEX.

Ia juga mengontrol kelenjar ADRENAL yang memproduksi hormon Adrenaline. Sehingga kelenjar Pituitary ini sering disebut dengan MASTER GLAND (Kelenjar Master).

Dengan hormon Adrenaline maka manusia bisa memiliki kekuatan yang ekstra, memiliki inovasi yang tinggi, tidak mudah lelah, optimistis, dan aura yang menarik.
Keberadaan hormon adrenaline ini bisa dilatih produksinya dengan berbagai cara.
Olahraga extreme seperti surfing, bungee jumping, paraglaiding, kompetisi bola, dan olahraga lain yang memancing degup jantung dengan keras. Itu akan melatih agar tubuh bisa memiliki hal-hal ekstra seperti diatas.

Ada juga cara lain untuk merangsang produksi hormon adrenaline -khususnya untuk kekuatan ekstra- yaitu dengan mengkonsumsi minuman ber-alkohol, dan alcohol bisa berfungsi sebagai katalisator bagi produksi hormon adrenaline. Karena ketika mabuk -pada level tertentu- manusia memiliki tenaga ekstra yang tidak pernah disadari ketika dalam keadaan normal. Ia menjadi kuat, semangatnya tinggi, apa saja ditabrak, tidak takut dengan siapapun.
Tetapi karena kondisinya mabuk, maka efek buruk yang dihasilkan adalah jauh lebih besar daripada efek baiknya.
Hypothalamus memiliki akses tunggal untuk merangsang produksi hormon adrenaline dalam tubuh, dimana dengan hormon adrenaline sebenarnya memiliki banyak kegunaan bagi keharmonisan kerja pada tubuh manusia.

Uniknya Hypothalamus ini bisa mempengaruhi seluruh prioritas aktivitas manusia kepada rangsangan yang keluar dari Hypothalamus itu sendiri.
Manusia bisa mengalahkan pemahaman Rasional nya (Otak Besar) jika rasa lapar dan ketakutan akan jaminan kesejahteraan mengancamnya.
Manusia bisa melecehkan ilmunya jika ia tidak bisa mengendalikan rangsangan kebutuhan Sex-nya. Manusia bisa mendustakan kebenaran spiritualnya (Otak Kecil) ketika Harta, Tahta, dan Wanita yang mengiming-iminginya.

Organnya sangat kecil, tetapi memiliki pengaruh yang amat kuat terhadap organ otak lainnya.
Jika otak manusia didominasi oleh rangsangan yang keluar dari Hypothalamus ini, maka pasti aktivitas manusia akan merusak tatanan manusia itu sendiri, dan juga merusak tatanan alam semesta (KEJAHATAN).

Bagaimana dan apa Hypothalamus ini menurut Al-quran:

QS: 50/16
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh NAFS-nya (hatinya), dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya,”

QS: 12/53:
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya NAFS itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali NAFS yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Jika pada pada QS: 50/16 kata NAFS diartikan seperti yang tertulis (hati), maka akan jauh sekali pemahamannya. Apakah hati itu kerjanya berbisik?
Mengapa ada 3 istilah yang berbeda dalam Quran, tetapi artinya dalam bahasa Indonesia menjadi sama?
Pada QS: 23/78 kata AF’IDA diartikan hati.
Pada QS: 114/5 kata SUDUR diartikan hati.
Sedangkan pada QS: 50/16 kata NAFS diartikan hati juga?
Bukankah 1 huruf saja dalam Al-quran memiliki arti sendiri yang memiliki efek sangat besar perbedaannya? Sedangkan ketiga ayat diatas -contohnya- terdiri dari huruf-huruf yang berbeda.

Jika diteliti pemahaman akan NAFS dalam QS 12/53 diatas, didapat bahwa sifat NAFS itu cenderung untuk memerintahkan kepada kejahatan.
“INNA NAFSA LA AMMAROTUMBI SUU’
Sesungguhnya NAFS itu selalu memerintahkan kepada KEJAHATAN.

Berarti kata NAFS yang dimaksud dalam Quran mensinyalkan sebagai HYPOTHALAMUS. Karena Hypothalamus jika tidak dibimbing dengan wahyu akan cenderung memerintahkan kepada suatu kejahatan yang berakhir kepada kerusakan.
Hypothalamus yang mengontrol berbagai rasa dan keinginan (rasa lapar-haus, kenyamanan, sex, emosi), maka manusia akan melakukan hal apa saja asalkan keinginan dan rasa tadi bisa terpenuhi.
Kalau kita sering mendengar kata NAFSU, sebenarnya itu berasal dari kata NAFS yang SU’, yaitu Hypothalamus yang cenderung berbuat kerusakan/kejahatan.

NAFS ini bisa berganti baju menjadi AF’IDA dan SUDUR; Hypothalamus bisa mempengaruhi output dari Otak Besar dan Otak Kecil. Ia bisa menyusup pada perilaku ilmiah, maupun spiritual.

Sebagai contoh:
Seorang pejabat publik yang tega memakan uang rakyat yang memilihnya.
Menurut rasio sang pejabat (Af’ida), hal itu bisa dilakukan karena memiliki wewenang pada jabatan yang diembannya. Selain itu system pemerintahan yang berlaku sangat memungkinkan untuk melakukan penyimpangan dana yang tersedia.
Menurut output spiritualnya (Sudur), ia harus mengedukasi anaknya dengan menyekolahkan pada institusi yang mahal, harus mendermakan sebagian penghasilannya dengan menyumbang masjid, panti asuhan, dan amal-amal kemanusiaan sekaligus sebagai penyeimbang “timbangan” amalan sehingga evaluasi perbuatannya bisa balance, bukan dosa saja yang besar tapi pahala juga ikut besar (seperti timbangan beras).

Padahal dasar output dari Af’ida maupun Sudur tadi sudah dipengaruhi dan ditaklukan oleh buasnya dorongan Nafs (Hypothalamus) yang “membisikan” untuk senantiasa menjamin keamanan “Perut”-nya saja. Seolah-olah pendapat yang dikeluarkan berasal dari Af’ida dan Sudur. Jadi Nafs bisa berganti baju menjadi Af’ida dan Sudur, “serigala berbulu domba”.


HYPOTALAMUS, Contoh yang lebih jelas lagi yaitu ketika ada orang yang berdakwah tetapi menerima bayaran dari dakwahnya. Mungkin secara kamuflase bayaran itu sebagai uang pengganti transport. Tetapi akan menjadi pertanyaan apabila uang transportnya hingga jutaan rupiah, naik apa dia dalam berdakwah? Lagipula jika tidak diberikan, apakah ia mau datang lagi?
Premise yang ada menganggap wajar-wajar saja hal itu terjadi, karena yang namanya kiyai kerjanya cuma berdakwah. Lumrah kalau orang yang mendengarkannya mengasihinya dengan memberi uang transport/sedekah.

Pendapat orang yang memberikan balasan kepada pendakwah, sesungguhnya berasal dari Otak Kecil yang sedari kecil dahulu dimasukan dogma bahwa: Jika mengundang kiyai, maka harus memberikan uang transport atau sedekah sebagai tanda kita memperhatikan kiayi itu. Pendapat itu sudah tersimpan dan otomatis keluar ketika -pada lain waktu- diajarkan oleh pendakwah yang diundangnya. Walaupun ayat-ayat dalam Quran mensinyalkan kepada arah yang berbeda dengan apa yang termaktub dalam Otak Kecil tadi, tetapi seolah-olah “hati kecil” meng-amini premise untuk memberikan kepada balasan kepada pendakwah ini. “Karena kedatangannya kita yang mengundang, jadi kita harus bertanggung jawab terhadap kepulangannya”.

Itu pendapat yang ada, akan menjadi bias jika manusia mengandalkan pendapat pribadi dari manusia itu sendiri. Mari kita lihat bagaimana rambu yang dibuat Allah bagi orang yang menyampaikan apa yang diamanahkan Nya.

QS: 76/9
“Sesungguhnya Kami memberi MAKANAN kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.”

Makanan perut adalah Nasi. Sedangkan makanan Qolbu yang dibahas dalam Quran adalah wahyu, bukan nasi. Sebuah makanan yang bisa membimbing umat manusia kepada yang Haq, kepada yang dijanjikan oleh Penciptanya.
Jangankan mengharapkan balasan, terimakasih saja pun tidak boleh diharapkan oleh orang yang penyampaikan peringatan dari Robb-nya.
Kalau Makanan yang dimaksud adalah makanan perut dalam ayat ini, maka tidak ada bedanya antara orang yang beriman dengan orang yang “tidak mengenal Allah”, mereka juga saling mengasihi dalam bentuk materi.
Dengan demikian dapat ditangkap bahwa karakter Allah adalah sangat membenci manusia yang dalam berbuat sesuatu ada motivasi untuk mendapatkan balasan, apapun bentuknya.

QS: 15/94:
“Maka SAMPAIKANLAH olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.”

Hari ini para pendakwah bukan dengan rumus MENYAMPAIKAN apa yang diperintah sebagaimana ayat diatas, artinya dakwah yang disampaikan bukan inisiative mereka yang melihat suatu ketidak-beresan dalam perilaku manusia, tetapi mereka berdakwah karena Diundang, Ditanggap, Diminta, Dipanggil, bagaikan artis yang membawa syair dengan paham budi pekerti, dimulai dari membahas hal-hal yang bersinggungan dengan masalah emosi (Hypothalamus), bukan ilmu.
Padahal untuk memahami sesuatu, haruslah dimulai dengan pemahaman yang menggunakan sarana berfikir (Otak Besar), bukan emosional -Hypothalamus. Karena jika emosi yang pertama kali disentuh, maka otak besar manusia tidak dapat berfungsi dengan baik.

QS: Yaasiin 36/21:
“ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Hari ini tidak ada pendakwah yang secara terang-terangan meminta bayaran atau balasan. Tetapi dengan mensosialisasikan uang transport sebenarnya itu adalah kata “meminta” yang dikemas dengan kata yang lebih halus.
Maka menurut surat Yaasiin -yang sering didengung-dengungkan tapi kurang diperhatikan maknanya- orang yang tiada meminta balasan dari dakwahnya adalah orang yang diberi petunjuk. Konsekuensinya adalah, orang yang meminta -terima bayaran- adalah orang yang tidak diberi petunjuk Nya.
Mengapa pemberian jasa/balasan yang bertedeng-aling sebagai uang transport/sedekah itu dilarang oleh Nya? Karena didalam memahami Petunjuknya, tidak bisa dicampur dengan motivasi lain selain mengharap keridhoan Nya, apalagi materi yang bisa menjadi “ilah” manusia – yang dicintai, diabdi-.

Karena diundang-dipanggil-ditanggap-, maka mereka berhak untuk memasang tarif ketika naik panggung (Professional). Sama statusnya seperti ketika memanggil seorang ahli pemasaran seperti Philip Kotler yang dipanggil untuk memberikan ceramah di berbagai event. Semakin “ngetop” maka semakin tinggi bayarannya.
Pantaslah kalau hari ini berdakwah dianggap profesi, bukan menjalankan suatu misi dari Sang Pencipta untuk membenahi kebobrokan moral umat manusia.

Maka rumus untuk MENYAMPAIKAN petunjuk Nya tidak berlaku baginya. Karena apa yang disampaikan bukanlah wahyu dari sang pencipta, tetapi olah kata yang tujuannya tidak lain membimbing kepada sesuatu yang pamrih, berbuat sesuatu untuk mengharapkan balasan.
Ini adalah bukti bahwa Hypothalamus bisa berganti -menyamar- menjadi Cerebellum, perilaku yang cenderung merusak yang terbungkus dengan gaya spiritual.

QOLBU YANG SEHAT

Jika ditelaah, Otak Besar, Otak Kecil, dan Hypothalamus berpengaruh sangat besar terhadap nilai dari perilaku manusia terhadap Penciptanya. Ketiga organ otak inilah yang membentuk sebuah system pola berfikir yang disebut dengan QOLBU.
Qolbu berasal dari kata QOLABA-QOLIBU, Bolak-balik, pikir-pikir, Mondar-mandir, Timbang-timbang. Organ yang fungsinya menimbang-nimbang, pikir-pikir itu tidak lain adalah system pada Otak manusia. Tidak ada organ lain dalam tubuh selain otak yang bertugas untuk itu. Jika ada orang yang mengatakan ada, ia akan mengalami kesulitan untuk menunjukan dimana organ itu berada.

Maka tepatlah Hadits nabi yang berbunyi:

INNA FIL JASADI LAA MUDGHOH
IZAA SHOLUHAT, SHOLUHAT JASADU KULLU
WA IZAA FASADATH, FASADATH JASADU KULLU
‘ALAA WAHIYA QOLBU

Di dalam tubuh manusia terdapat organ yang lunak.
Jika ia baik, maka baiklah tubuhnya
Jika ia jelek, maka jelek-lah tubuhnya
Itulah yang disebut QOLBU.

Qolbu bukan hati, karena hati adalah Liver yang fungsinya bukan menimbang-nimbang. Kata “Hati” yang digunakan sesungguhnya untuk merepresentasi dari jati diri manusia dimaksud yang pada akhirnya penelusuran permasalahannya akan kembali kepada otak manusia sebagai sentral dari segala perintah pada tubuh manusia. Adalah sesuatu yang menggelitik jika ada orang yang mengatakan: “... memahami (sesuatu) harus menggunakan hati, bukan otak.” Seolah-olah obyek “hati” yang dimaksud terpisah letak maupun fungsinya.

Qolbu bukan berada di dada, karena dalam dada tidak ada organ yang berfungsi untuk memahami. Hati adalah ungkapan system otak manusia sebagai pusat motorik terhadap apa yang dilakukan.
Jika manusia tidak menggunakan system Qolbunya sesuai dengan fungsinya dalam menapaki hidup, maka output apapun yang dihasilkan adalah keberpihakan terhadap otak mana yang lebih dominan.

Benarlah perkataan nabi di atas. Kordinasi yang harmonis antara Otak Besar, Otak Kecil, dan Hypothalamus -sebagai pusat perintah dalam tubuh manusia- akan menjadi “komandan” yang baik di dalam memimpin anggota tubuh yang lain sebagai pasukannya. Jika komandannya sakit, maka pasukannya pun pasti kacau. Tapi jika komandannya tegas dan berdisiplin, maka tidak akan ditolerir jika ada penyimpangan dalam bentuk apapun.

Otak yang sehat bisa menjadi penyembuh dari segala penyakit. Karena 99% penyakit obatnya sebenarnya ada di otak, tentu otak yang sudah diisi peluru dari Yang Menciptakan.
Obat additive yang ada sesungguhnya hanya merangsang agar system otak merecovery permasalahan yang timbul dengan meregenerasi sel pada organ yang sedang mengalami gangguan. Tapi jika Otak nya yang sakit, maka obat apapun yang diberikan tidak akan bisa merangsang regenerasi sel tadi. Istilahnya, Qolbunya “ngambek” tidak mau bekerja karena ada sesuatu prinsip yang dilanggar.

Ini bisa kita lihat bagaimana nabi Muhammad sampai dengan umur 63 tahun selama hidupnya tidak memiliki penyakit menahun, walaupun 10 tahun pada akhir hayatnya dihadapi dengan berperang sebanyak lebih dari 70 kali. Bagaimana beliau bisa mendapatkan sehat yang demikian?
Ketika menghadapi maut pun ia hanya merasakan pusing pada kepalanya, tanpa penderitaan yang berkepanjangan. Itupun karena sudah sampai masa berlaku jasadnya kepada akhir daripada tugas yang diamanahkan. Beliau sudah berhasil membawa Dien Allah yang diemban oleh umatnya mencapai kemenangan. Baik kemenangan konsep yang dijalankan oleh Qolbu yang sehat, maupun kemenangan konkrit dengan merebut kembali teritorial milik Allah yang sudah dikangkangi oleh manusia-manusia yang bobrok moralnya, itulah yang esensi dari kata kemenangan.
Demikianlah perjuangan yang diusung oleh setiap Rasul Nya sebagai pemimpin ummat yang harus dicontoh oleh orang yang mengaku sebagai umatnya.

MENJINAKKAN HYPOTHALAMUS dan MEMILIKI QOLBU SEHAT

Hypothalamus atau Nafs dalam bahasa Quran yang gejolaknya sangat dahsyat itu harus dijinakkan agar mengabdi kepada Sudur yang memang diciptakan oleh Nya sebagai wadah spiritual manusia, wadah untuk mengabdi kepada Sang Pencipta. Sudur-nya pun harus diisi oleh prinsip-prinsip dasar yang diajarkan oleh Sang Pencipta. Di dalam Sudur bukan hanya berisi prinsip untuk aktivitas ritual saja, karena ritual belum bermakna apa-apa sebelum dibuktikan tentang apa yang dibaca dan dipahaminya.
Sudur yang berisi software yang legal, yaitu petunjuk-petunjuk kehidupan yang terkandung dalam Quran. Hingga potensi yang terkandung dalam Hypothalamus dapat meledak berfungsi hanya bagi kepentingan Nya.

Untuk menjinakkan Nafs caranya adalah sebagai berikut:

QS: 7/205:
“Dan sebutlah Robbmu dalam NAFS mu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”

Ajaran dari Robb (Yang Mengatur) alam semesta ini harus menjadi motivasi bagi keberadaan Hypothalamus. Dengan menjadikan Robb sebagai substansi dalam Hypothalamus, maka potensi dahsyat yang dimiliki manusia ini bisa mengarah kepada kepentingan Robb nya, bukan kepada materialistik yang sifatnya temporer dan cenderung menganiaya diri sendiri maupun orang lain.

Bagaimana mencapai Qolbu sehat yang bekerja dengan harmonis sebagaimana para nabi dan orang-orang soleh?
Tentu karena Qolbu adalah direka oleh Yang Mencipta, maka peluru yang mengisi Qolbu yang seharusnya adalah peluru buatan Yang Menciptakan. Sebagai pusat motorik dari aktivitas manusia, Qolbu harus berisi ajaran-ajaran dari Sang Pencipta sebagai suatu yang natural, yang menjadi pasangan diciptakannya Qolbu. Ibarat komputer, maka Qolbu bagaikan sebuah CPU yang harus diinstal oleh Operating System yang tepat dan asli. Program-programnya pun harus diinstal dengan yang Asli, agar unit komputer itu bisa bermanfaat dan tidak menimbulkan masalah bagi penggunanya. Pelurunya adalah Wahyu sebagai petunjuk hidup, sebuah kitab yang kini hanya dibaca saja tanpa pemahaman akan maksud dan arti dari petunjuk yang dimaksud.

Qolbu yang diisi Wahyu, akan menciptakan manusia mempunyai visi hidup jelas. Sehingga pikir, kata, dan perbuatannya tidak sia-sia.

Qolbu yang diisi Wahyu, akan membuat manusia punya kekuatan ekstra, innovative, tangkas, sebagai modal menerima petunjuk2 Nya.

Qolbu yang diisi Wahyu, akan menciptakan manusia yang sehat jasmani dan ruhaninya, tanpa penyakit yang berarti. Kalaupun ada hal yang tidakberes, maka akan segera direcovery oleh tubuh yang diperintahnya.

Qolbu yang diisi Wahyu, menjauhkan manusia dari rasa curiga, pesimis, dan paranoid akan masalah yang dihadapi. Ia akan membentuk manusia yang terbuka (Insyiroh) sebagai modal awal masuknya prinsip-prinsip dasar kehidupan yang Haq dari Nya.



Post a Comment

0 Comments