Ketika kita menilai sebuah lagu, penilaian itu akan disandarkan kepada kecintaan akan pengarang yang digandrungi, not lagu yang disukai, serta hal-hal yang meneguhkan sebuah lagu itu menjadi enak didengar.
Lagu “Gang Kelinci’ yang dipopulerkan oleh Lilis Suryani pada tahun 60-70 an akan lebih dinikmati oleh pendengar berusia 50-60 tahun-an. Sedangkan lagu “Teman Tapi Mesra” (TTM) -yang dibawakan oleh grup Ratu- akan memanjakan telinga kaum muda yang banyak menggandrungi lagu-lagu yang bernuansa pop-rock kreatif serta kemolekan biduannya.
Sebagian orang menilai lagu “Gang Kelinci” memiliki unsur-unsur nada basic / fundamental dari sebuah lagu. Ia begitu mudah diterima telinga pendengarnya karena memiliki nada yang sederhana dan mudah dicerna. Tapi bagi sebagian orang lagu itu dirasa kuno, terlalu monoton dan membosankan. Sebaliknya, menurut sebagian orang menilai lagu “TTM” adalah lagu yang terlalu berisik untuk didengar, memiliki nada yang tidak edukatif dan liriknya cenderung merusak moral.
Jika manusia menilai segala sesuatu dengan kacamatanya sendiri, maka penilaian itu akan bernilai subyektif, bisa ya bisa tidak. Sebagian orang menyetujuinya, sebagian lagi belum tentu dapat menerimanya. Penilaian itu tidak akan menyuguhkan nilai yang prima tentang segala sesuatu. Tidak bisa manusia menilai dengan kacamatanya sendiri untuk mendapatkan kesejatian, karena kacamata yang dipakai tergantung kecintaan apa yang sedang berkuasa. Jika ia mencintai materi, maka apapun akan bernilai baik jika menyodorkan jaminan kemapanan materi. Jika ia mencintai kehormatan, maka ia akan menjadi bukti sebuah komunitas ningrat dalam dongeng yang tak tersentuh oleh rakyat jelata.
Kacamata penilaian yang obyektif ada pada Tuhan sebagai sang Pencipta dan Pengatur, sebagai pihak yang berhak menilai apapun. Ia memiliki kacamata yang bisa menentukan segala sesuatu dengan tepat. Bisa jadi sesuatu yang baik menurut manusia, menjadi buruk bagi sang Pencipta. Dan sesuatu yang buruk bisa menjadi baik menurut penilaian sang Pencipta. Penilaian dari sang Pencipta tidak dapat dibantah oleh siapapun. Ia akan diterima oleh setiap makhluk karena memiliki sebuah kuasa yang dahsyat, tidak terkecuali siapapun dia. Jika ada pihak yang memiliki penilaian yang berbeda dengan penilaian Nya, maka pasti ia akan hancur karenanya.
Air sudah ditentukan memiliki sifat mencari tempat yang terendah dari posisinya sekarang. Tuhan telah menilai bahwa sifat air itu sejati dan tidak dapat dirubah. Jika dikala musim hujan manusia menghalangi jalan air -dengan semakin masifnya pembangunan apartemen di kawasan resapan air serta mendirikan rumah di bantaran sungai, maka suka atau tidak, air itu akan meminta jatahnya untuk lewat dari tempat tinggi (gunung) ke tempat rendah (Laut). Oleh karena itu jika terjadi fenomena banjir yang dikatakan sebagai bencana, sesungguhnya itu bukan sesuatu yang Ia buat untuk menyusahkan manusia. Tetapi manusia-lah yang memiliki penilaian berbeda tentang air sehingga melalaikan penilaian Nya yang sejati. Dengan kata lain, manusia tidak mencapai frekwensi Tuhan sehingga tidak dapat menangkap berita dari Tuhan tentang segala macam fenomena alam. Itulah yang terjadi pada setiap fenomena alam yang dinilai manusia sebagai bencana.
Kacamata ini tidak hanya berlaku dalam agama atau golongan tertentu, dan tidak bisa diklaim sebagai milik etnis tertentu. Apabila ada sebuah penilaian yang diklaim milik agama tertentu, itu berarti bukan penilaian dari kacamata Tuhan, tetapi itu adalah penilaian subyektif hasil dari kesombongan spiritual etnis dari yang menganutnya. Tidak bisa banjir dihindari dengan do’a. Tidak cukup meratapi gempa dengan memperbanyak aktifitas ritual. Tetapi ia juga memerlukan tindakan nyata dengan memiliki kacamata yang sama dengan Tuhan sehingga dapat mengantisipasi gejala-gejala yang terjadi pada alam dan pada komunitas manusia. Jika ada orang yang merasa tentram ketika berdo’a setelah ditimpa kemalangan tanpa ada usaha nyata untuk menanggulanginya, itu hanyalah ritual yang menina-bobokan pemohonnya. Ia sedang menggali lubang yang lebih dalam bagi dirinya, karena ia tidak menjadikan pelajaran tentang kemalangan yang dialami yang pasti akan terjadi lagi pada dirinya.
Tuhan tidak pernah menciptakan agama menjadi sebuah “cap” bagi manusia, tidak pernah menjadikannya sebagai merek bagi manusia. Tuhan tidak pernah menilai manusia yang tidak masuk agama tertentu bukan golongan surga. Pendapat itu timbul karena kebutaan manusia didalam memahami wahyu-wahyu Nya. Sebuah prinsip hidup yang berlaku global bagi manusia, bukan hanya pada golongan etnis tertentu. Tetapi berlaku bagi setiap manusia yang taat kepada aturan Nya. Seberapa alimnya pun dia, jika tidak memakai kacamata Tuhan untuk mentaati aturan Nya dalam menyikapi alam dan psycho-social manusia, maka ia bukanlah manusia yang akan memetik kedamaian di muka bumi. Tetapi hanyalah manusia yang sedang tergulung oleh kesombongan emosional ke arah kehancuran. Merasa memakai kacamata Nya, padahal kacamata itu tidak memiliki kaca
sama sekali.
0 Comments